Selasa, 17 Januari 2012

Dulu Keliling Jajakan Roti, Kini Jadi Manajer Birokrasi







Julius Gurning dan Nyonya Kostiamar boru
Sihombing



REZEKI tak bisa diukur. Semua tergantung semangat menggapai cita-cita dan kemampuan memamfaatkan peluang. Tentu, restu Tuhan merupakan syarat utama. Petikan syair lagu “hidup ini bagai roda pedati” kadang di bawah kadang di atas, adalah realitas yang patut diteladani. Mau sukses, tanamkan jiwa pantang menyerah dan teruslah mencari informasi diikuti pengembangan pertemanan.


Begitu jua perjalanan seorang pria bernama Julius Gurning, pria kelahiran Pangururan Kabupaten Samosir 12 februari 1958. Warna kulit sawo matang pekat menggambarkan bahwa masa belia melekat dengan terpaan terik matahari. Menyusul tekanan kepedihan di kampung halaman, setahun usianya – orang tua memilih pindah ke Medan. Kala itu, mereka berdomisili di sekitaran Helvetia. Hingga tamat SD St Antonius jalan Sriwijaya, dianya penuh dalam tanggungan orang tua. Di sela itu, ia juga menemani bunda ke ladang hampir setiap hari mengurus padi sawah.


Kendati umur masih kanak-kanak, Julius paham betul bahwa keluarga ini sangat sederhana. Dia kerap menangis melihat kegigihan bunda berusaha melepas jerat kemiskinan. Ditengoknya, berangkat di saat mentari belum menanjak memancarkan panas dan kembali ke petang menjelang gelap. Pergi menjunjung kompos dalam karung sambil menenteng rantang nasi dan pulang menjinjing kayu bakar. Daun singkong pun lalapan rutin bersama ikan asin bakar. Ketika itu, amat jarang merasakan menu gorengan bersamba serta santan. Mereka jauh di bawah kecukupan.


Bermaksud meringankan beban orang tua, sejak duduk di kursi SMP St Thomas, putra ketiga dari tujuh bersaudara ini memilih aktivitas baru. Jualan es lilin dan roti kelapa, kue bohong dan makanan ringan sejenis digeluti demi mendapatkan rupiah. Barang itu didapat dari toke di sekitaran rumah. Tangan kiri dan kanan menjadi gantungan keranjang dan termos. Dia berjalan keliling permukiman Helvetia termasuk Jalan Asrama. Bila lelah, ia istirahat sejenak menarik nafas. Perasaan minder dibuang jauh-jauh.


“Roti…rotiiii…roti..rotiiii…es…ess” sebut Julius di sepanjang jalan lintasannya sembari mengenang kegetiran pada perbincangan dengan Analisa, Kamis (12/1) di Sidikalang. Terkadang jualan habis dan sesekali tersisa. Hingga menjelang akhir SMA, pekerjaan itu dilakoni. Laba penjualan mampu dikumpul membiayai kebutuhan sekolah. Sementara itu, pada hari libur, kuli bangunan digeluti. Uang dari buruh ini lebih lumayan tetapi energi terkuras lebih besar.


Begitu pun, prestasi belajar bukan surut. Awalnya dia masuk ke SMA Negeri 7. Sampai kelas dua ia meraih ranking 4. Saat itu, SMA Methodis di jalan Thamrin membuka diri. Yakni menerima siswa terbaik sekolah negeri menjadi peserta didik. Julius pun memilih berkompetisi dengan murid dari kalangan ekslusif sejak kelas dua tahun 1973.


Perjuangan tiada henti. Dia berobsesi ingin memperbaiki status berbekal ijazah SMA. Apalagi, saat itu belum banyak anak muda memegang ijazah sedemikian. Di sela itu, dia mengaruh becak dayung agar tiada kehilangan rupiah. Hari demi hari, upah letih dikantongi. Dan, suatu waktu, dia mendapat info bahwa lowongan kerja dibuka di kantor Gubernur Sumatera Utara, PT PLN Sicanang dan PT Pertamina.


Sebagai seorang anak, ia minta pendapat ayahanda Liberty Gurning dan bunda Tio Sofia boru Simbolon. Ketiga lembaga itu pun dilamar. Demi menghemat biaya dan waktu, permohonan diantar membawa becak dayung. Lembaran itu diselip diantara rangkaian besi alat transportasi kaum awam.


Julius teringat, becak diparkirkan di satu sudut di bawah pohon lalu mengantar lamaran. Dia kaget ketika Bagian Personalia kantor gubernur di jalan Sukamulia dan PT Pertamina memanggilnya. Hati sempat mendua, pilih ikut seleksi PNS atau listrik. Keputusan dijatuhkan ke kantor gubernur.


Sejak tahun 1978, dia disahkan menjadi CPNS (calon pegawai negeri sipil) bertugas di Kabupaten Dairi ditempatkan di Sidikalang pangkat IIa. Begitupun penghasilan masih minim. Karenanya, ia memilih tinggal di sebuah kamar -- ruang kantor Camat Sidikalang (sekarang ruang sekretaris DPRD-red) di jalan Sisingamangaraja. Dan, bilik sederhana itu merupakan sejarah istimewa sepanjang hayat.


Kamar itu berdekatan dengan rumah sakit (kantor Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang-red). Suatu sore, Kostiamar boru Sihombing seorang gadis berparas lembut ditengoknya melintas untuk menemani keluarga yang tengah dirawat di sana. Mulanya, pertemuan hanya basa –basi. Eh… lama- lama hati kedua insan terpaut cinta hingga beranjak membentuk mahligai rumah tangga tahun 1978.


Julius ingin karier meningkat. Seiring itu, permohonan mengikuti pendidikan ke LAN (Lembaga Administrasi Negara) Jakarta diajukan kepada Sekretaris Daerah, JS Meliala. Sayang, hasrat itu ditolak. Bersamaan kelahiran buah hati pertama, ia sempat pasrah bahwa nasib berhenti di situ.


Melihat beberapa sarjana muda dan sarjana punya kursi lebih terhormat, ambisi kembali timbul. Dia kemudian membuat permohonan serupa. Alhasil, JS Meliala mengabulkan setelah usulan ke empat. Pendidikan itu membawanya punya embel-embel BA tahun 1984, lazim disebut sarjana muda. Edukasi tersebut merupakan starting point menggiringnya ke kursi eseloning. Dia diamanahkan sebagai Kepala Kantor Kecamatan atau setingkat Sekretaris Kecamatan Salak. Sebagai abdi negara, tentunya harus siap ditempatkan dimana saja. Tercatat lima kecamatan adalah area tugas, diantaranya Camat Sidikalang dan Sumbul. Tuhan memberkati langkah keluarga hingga dia diamanahkan menjadi Kepala Bagian Tata Pemerintahan, Asisten Administrasi Pemerintahan seterusnya Kepala Badan Kepegawaian dan Pelatihan Daerah.


ENAM BULAN
Berbekal kecerdasan dan loyalitas, Bupati KRA Johnny Sitohang Adinegoro menitipkan prioritas menuju kursi manajer birokrasi ketimbang dua kandidat lain. Plt Gubsu, Gatot Pujonugroho memberi penetapan jabatan Sekretaris Daerah ditandai pengukuhan di Balai Budaya Sidikalang, Rabu (11/1). Di level daerah otonom, kepercayaan itu adalah puncak karir seorang birokrat.


Keluarga Julius tergolong harmonis dan sempurna. Obsesi orang batak “mar anak mar boru” (punya anak laki laki dan perempuan) telah digenapi, plus jaminan kerja baik sebagai aparatur pemerintah maupun swasta.


Jangan membawa atribut orang tua dalam bermasyarakat. Jangan sesekali menyebut anak pejabat sebab jabatan itu hanya sementara. Lakukan apa yang terbaik membuat orang senang dan tenang sesuai norma agama. Jangan pula mencoba mengambil hak orang lain, begitu pesan Julius kepada empat buah hati tercinta termasuk menantu.


Seputar tanggung jawab lembaga, pria low profile ini memastikan, menunjukkan warna sebelum enam bulan ke depan. Tim kerja solid dan produktif harus dibangun. Disiplin mesti ditegakkan tanpa pandang bulu. Dia bertekad, tidak mau terlelap dalam kegiatan rapat tanpa hasil. Kalau judulnya saja tak jelas, bagaimana memetik ending bagus? Menurutnya, pengalaman adalah modal guna membawa pemerintahan pro rakyat.


Pak Julius itu manusia kerja. Dia senior saya. Saya tahu betul kepribadian, ujar Drs Holler Sinamo MM Sekretaris Daerah Kabupaten Pakpak Bharat. Berbagai kalangan menaruh harapan perubahan pada “oppung” bercucu tiga ini. Robert Sitorus Sekretaris Inspektorat memandang, Julius figur penuh tanggung jawab termasuk terhadap bawahan. Banyak pelajaran dipetik sejak menjadi staf. Kalau salah bertindak, akui, lalu bagaimana memperbaiki, begitu salah satu model yang ditanamkan, kata Robert.




Dikutip dari Harian Analisa Edisi Selasa (17/1/2012)
www.analisadaily.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar