Minggu, 14 Agustus 2011

Mengenang Pahlawan Jonathan Gelar Oppu Tording Sitohang Mengenang Pahlawan Jonathan Gelar Oppu Tording Sitohang



Jentera - Hari ini Pkl. 01:29 WIB



(Analisa/Ist) Jonathan Gelar Oppu Tording Sitohang (kiri) dan Piagam penghargaan dari Presiden Soekarno.





Oleh: Sarifuddin Siregar.

Gerakan organ tubuh tak lagi selincah dulu. Raut wajah berubah bergaris keriput. Urat di tangan mengepul berkelok bagai aliran sungai. Kening kusam menggambarkan betapa masa muda terpanggang terik panas dan derasnya kucuran keringat di masa lalu. Ingatan pun mulai memudar. Bila diajak bercerita, dia butuh sedikit waktu buat mengembalikan memori pahit berujung manis.
Perjuangan melelahkan, kini bukan hanya dinikmati diri sendiri, tetapi juga oleh masyarakat, khususnya di era kemerdekaan. Rakyat mungkin kurang mengenal lebih dekat, namun yang pasti, perempuan ini ada di antara ribuan patriot bangsa. Seperti namanya, dia adalah kemilau yang memberi kecerdasan bagi warga. Mutiara boru Lumban Tobing, itu nama seorang perempuan yang turut berjibaku membawa Indonesia mengibarkan Merah Putih. Dari perutnya dilahirkan seorang putra, KRA Johnny Sitohang Adinegoro Bupati Kabupaten Dairi (2009-2014) bersama enam saudara. Berkat kegigihan, Mutiara didaulat sebagai salah seorang Veteran Pejuang Kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pertahanan nomor: Skep/1000/M/XII/2001 tanggal 25 Februari 2002 ditandatangani Direktur Administrasi SDM Marsekal Pertama TNI Muchtar Santosa MSc. "Maaf, fisik ibu mulai menurun sejak dua tahun kemarin. Kami tidak menyangka bahwa dia masih berada di tengah kami. Ini mukjizat", ujar Karni Sitohang seorang putri didampingi cucu, Iko Arta Tambunan yang berprofesi sebagai guru di Desa Lae Hole Kecamatan Parbuluan. Mutiara (83), perempuan kelahiran Bandar Selamat Sidikalang menjelaskan, sebagai putra pejuang, tentunya dia tidak rela membiarkan sang ayah, Ferdinan Lumban Tobing terengah-engah. Berangkat terburu-buru, lalu pulang tak kenal waktu. Melihat kegigihan itu, jiwanya terpatri turut ambil bagian. Perannya adalah urusan logistik bagi kebutuhan tentara. Dia bergabung bersama Palang Merah. Sejumlah remaja juga turut menyatu dalam wadah PWI (Persatuan Wanita Indonesia) berkantor di Jalan Sisingamangaraja (sekarang kantor Koramil Sidikalang-red). "Kalau saya lewat dari kantor Koramil itu, aku selalu teringat, di sana kami bekerja… Bentuknya sudah lumayan; baik dibanding masa dulu," ujar Mutiara. Di situ, menu seadanya dimasak berupa beras dan ubi. Sayuran enak seperti sekarang semisal kentang, sawi manis, belum tersedia. Jipang dan daun ubi adalah santapan utama, karena gampang didapat. Sebagai pekerja logistik, mereka menjinjing bahan makanan dari Sidikalang menuju Bakal (sekarang bagian Kecamatan Siempat Nempu Hulu) dan Tigalingga. Setiap rombongan terdiri dari enam orang perempuan. Mereka melangkah dari semak dan tepian hutan, guna menghindari kolonial. Begitupun, derap langkah bukan berarti mulus dari ancaman. Sesekali kepergok sama Belanda. Untung saja, seorang teman Mutiara belakangan diingat boru Hutagalung lumayan cekatan berbahasa Belanda. Berbagai alasan disampaikan meyakinkan orang di depannya, bahwa bungkusan tersebut tidak punya hubungan dengan tentara Indonesia. Wajah senyum walau hati beringas dilempar menurunkan amarah penjajah. Seingatnya, tidak pernah mereka disakiti lantaran boru Hutagalung pintar bersiasat. Sesekali, mereka dirayu, agar sudi menjadi anggota pasukan Belanda. Semua omongan direspons manis agar jangan cedera. Route ditempuh dalam tempo satu hari. Kaum hawa ini pun kerap lupa soal perut keroncongan, mengingat di seberang teman sepenanggungan juga sudah lapar menunggu. Sesekali, macam dedaunan dan buah pohon, dikonsumsi demi mengganjal perut. Mengatasi haus, air sungai diteguk pakai kedua tangan, pengganti mangkok. Kadang kala, tepalak kaki tanpa alas tercucuk duri, membuat mereka merintih sakit. Begitupun, derita itu membawa hikmah solidaritas dimana teman lainnya langsung membantu mengambil dedaunan. Pelepah itu dikunyah-kunyah, lalu getah ditambal sebagai penawar ke luka. Pada langkah lain, kaki tersandung akar dan potongan kayu, membuatnya terjatuh. Walau demikian, barang bawaan harus diutamakan, tidak boleh tumpah. Sedih sekali membayangkan pejuang kala itu. Para pria itu hanya tidur beratapkan lapisan dedaunan ditumpuk di atas batang pepohonan. Pakaian melekat berhari-hari di badan, bercampur keringat. Kadang makan tanpa garam di tengah hutan. Dari mana dapat cabe? Mutiara pun mengungkap ketakutan, bila mendengar letusan peluru. Bila dentuman menderu, rombongan langsung mencari tempat berondok. Kaki diayun kalau suasana terasa nyaman. Hujan dan panas tak pernah dianggap masalah demi tugas. Ditambahkan, selain di Sidikalang, mereka juga pernah ditugaskan ke Sibolga. Barang serupa dijunjung dari Sibolga ke Tarutung. Bila jumpa teman, wajib menyapa "merdeka... merdeka... merdeka..."

Di Mana Jonathan ?

Diakui, suami tercinta Jonathan gelar Oppu Tording Sitohang, dikenal pasca kemerdekaan. Setelah proklamasi diikrarkan, dia memilih menjadi pedagang beras. Orderan dipasok dari Tarutung (Kabupaten Tapanuli Utara, sekarang) lalu dipasarkan di Sidikalang. Dia bermitra bersama seorang Marga Sitohang beristeri boru Siahaan penduduk Balige. Suatu ketika, bahan tersebut dirazia. Dengan alasan tertentu, pesanan tidak diperbolehkan masuk. Menurut rekan, barang itu hanya bisa lolos bila ada kebijakan Jonathan, berstatus sebagai bupati. Demi bisnis, teman itu membawa Mutiara menghadap Jonathan. Ehhh, lama-lama hati kedua insan malah saling rindu. Suatu ketika, Jonathan meminta keluarga Sitohang menghentikan aktivitas Mutiara. Pria berkharisma kelahiran 1908 ini, memutuskan mempersunting Mutiara. Tahun 1950, pasangan ini resmi mengayuh bahtera rumah tangga. Mutiara secara terbuka menyebut, dia menerima pinangan menjadi isteri kedua. Isteri pertama boru Sagala, diketahui meninggal dunia. "Jadi, asmara berawal dari beras?", tanya Iko Arta bercanda. Karni menuturkan, ayahanda kerap selisih pendapat terhadap ananda Johnny saat usia beranjak remaja. Kala itu, orangtua selalu memberi pendapat tentang cara berkomunikasi dan organisasi termasuk urusan administrasi. Perhatian pemerintah atas amal bhakti ayahanda amat besar. Presiden Ir Soekarno, menganugerahkan surat tanda pahlawan tertanggal 5 oktober 1961 atas jasa perjuangan gerilya membela kemerdekaan pada jabatan "Ahli Tata Praja Kepala Pensiun" Kantor Gubernur Sumatera Utara. File itu diterima langsung sembari menyalam Presiden pertama di Jakarta. Ini sukacita tak ternilai. Penghargaan juga dikeluarkan Menteri Pertahanan Djuanda. Pemakaman pada 1 desember 1978 memakai upacara militer. Nama JOT Sitohang juga telah ditabalkan di salah satu jalan di Sidikalang sebagai simbol penghormatan. Selanjutnya bunda, rutin diundang pemerintah daerah mengikuti acara peringatan detik-detik proklamasi. Kini, KRA Johnny Sitohang Adinegoro, diberi berkat meneruskan cita-cita keluarga bagi kelanjutan pembangunan.

Komandan Perang
Abdul Rahman Lubis (82) Ketua DPC LVRI (Legun Veteran Republik Indonesia) Kabupaten Dairi, salah seorang saksi hidup perjuangan kemerdekaan, mengaku salut atas kecerdasan Jonathan. Dia itu ahli strategi, ujarnya mengaku dekat di era pertumpahan darah. Sepengetahuannya, Jonathan adalah komandan pasukan Sektor II Tapanuli membawahi Tarutung dan Sibolga. Keduanya intens tukar pikiran bersama Jamin Ginting di Medan. Beberapa bulan sebelum pengibaran merah-putih, pasukan Abdul Rahman dan Jonathan bersatu menghadang Belanda di Simpang Tiga, Sitinjo. Jonathan menggiring personil dari Parbuluan sedang dianya meluncur dalam korps Sabilillah dan Terri dari Sidikalang. Mencegah masuknya Belanda, jembatan Lae Renun (perbatasan Sidikalang-Sumbul) diputus. Musuh sempat kelimpungan lantaran panser dan truk serta senjata api tidak bisa lewat. Perang tidak terelak. Musuh membuat jembatan darurat. Seingat Abdul Rahman, dua anggota Jonathan gugur tetapi korban tewas lebih jamak di pihak lawan. Itu diketahui seiring posisi Abdul Rahman juga merangkap anggota Palang Merah. Di antara semak belukar dan kayu di sana, pembela tanah air mengayun senjata laras panjang berupa mahasen, suzuki dan mortir. Tiada kata menyerah kecuali menang untuk merdeka. Diterangkan, mereka bertarung tanpa sandal dan juga tanpa seragam. Saling kenal dan percaya saja. Di era kepemimpinan sebagai Bupati Dairi pertama medio 1947-1948, dia menampilkan kesederhanaan. Tak ada jarak pejabat terhadap rakyat, papar Abdul Rahman, Jumat (5/8) didampingi anggota Tunggul Marbun (81), Ringkon Marbun (68), Mula Siburian (81) dan Albert Tambunan (81).


Disiarkan di harian Analisa Edisi Minggu tgl 14 agustus 2011-- kolom jentera
www.analisadaily.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar