Selasa, 28 Juni 2011

Demi Pendidikan, Siswa Kelas 1 SD Terpaksa Kost



Cetak Email
Oleh: Sarifuddin Siregar

Usia kanak-kanak lazimnya merupakan masa paling indah. Kala itu, mereka memperoleh penuh kasih sayang kedua orang tua. Tak heran, mau bangun saja kadang-kadang si ayah atau bunda memilih beranjak dari tempat tidur untuk bercanda sejenak bersama si buah hati. Sebagai darah daging, orang tua sesekali mempertanyakan apa ikan atau buah

bahkan sayur favorit si anak. Bila permintaan dirasa sukar terpenuhi, sesekali dijawab, kita belum punya uang. Respon lain, sabar ya..? Nanti kalau sudah panen, pasti kita beli.

Barang kali, demikian juga kita, pada hakekatnya tak ingin jauh dari anak, apalagi ia belum mandiri. Kala terlambat pulang sekolah saja, si bocah sudah dicari ke sana kemari. Panik tak kepalang tanggung hingga menurunkan gairah bersantap siang.

Tetapi, masa bahagia penuh kenangan manis tidak sepenuhnya dikecap generasi muda bangsa. Tiada waktu bermain dan tiada waktu bermanja. Selain kepedihan itu kerap menimpa kaum miskin kota, derita serupa juga menerpa keluarga di pedesaan khususnya jauh dari akses transportasi dan informasi.

Itu sekilas pandang kondisi penduduk Dusun Lae Maromas Desa Lae Haporas Kecamatan Siempat nempu hilir Kabupaten Dairi Sumatera Utara. Permukiman ini bertetangga dengan Dusun Logan Desa Lae Luhung. Jarak keduanya sekitar 6 kilometer. Dan, hanya di sana berdiri SD (sekolah dasar) terdekat. Sedang untuk jenjang SMP (sekolah menengah pertama) fasilitas pendidikan paling terjangkau ada di Desa Pardomuan sejauh 8,5 kilometer.

Lae Maromas, sebuah permukiman yang belakangan ini menghentakkan hati penggiat kesehatan khususnya di level Sumatera Utara. Betapa tidak, KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit malaria medio pertengan juni 2011 kemarin mengungkap bahwa di sekitar kita banyak orang menjerit. Dua jiwa terenggut dan 29 orang dari 40 kepala keluarga dinyatakan positif terinfeksi.

Mereka telah merdeka namun hampir tak merasakan nikmatnya era kemerdekaan. Siang merana malam gelap gulita. Mau mengadukan kepenatan fikiran, siapa yang sudi mendengar. Mereka tidak punya akses menemui pejabat pemerintahan dan kaum elit lainnya.

Kabarnya, perkampungan itu mulai dihuni tahun 1970. Jumlah penduduk tergolong sangat sedikit. Pemukiman sedikit ramai seiring masuknya perusahaan kayu tahun 1986. Kala itu, ruas tersedia hanya berupa jalan logging (truk pengangkut balok). Armada itulah ditumpang untuk memperoleh barang kebutuhan dan mobilitas. Seiring terbatasnya stok, pengusaha pun hengkang. Konsekwensinya, mereka kembali larut dalam kesepian mendalam. Suara chain saw dan permukiman berganti senyap. Sunyi dan terus tersedu.

Sejak saat itu, tak terdengar lagi kunjungan orang baru maupun kesibukan pendatang. Jalan terbuat dari tanah liat kehilangan bentuk oleh cuaca. Permukaan tertutup semak sedang beberapa tepi tampak longsor. Ukuran pun kian menyempit menjadi sekitaran dua meter. Karenanya, dapat dimaklumi jikalau kehadiran Bupati, KRA Johnny Sitohang Adinegoro dan tim guna melakukan penanggulangan penyakit malaria menimbulkan kecengangan di hati warga. Bayangkan, 20 tahun lebih suatu permukiman tak dilintasi mobil bahkan seumur umur belum pernah dikunjungi pejabat.

Namun demikian, sebagai orang tua, penduduk tidak mau terlelap dalam beratnya beban hidup. Usaha tani tetap ditekuni. Jengkol, kopi, durian, nilam dan tanaman keras lainnya adalah komoditas yang dikembangkan. Hanya saja, tidak banyak keuntungan diraih sebab panenan banyak ditelan hama.

Ongkos Rp 1000/Kg

"Kami seperti petani tanpa harapan. Kami menanam tetapi monyet dan babi hutan yang memakan duluan. Hama itu tidak punya rasa takut. Organisme itu juga biasa bermain mengorek ubi hingga ke depan rumah. Ke kaki lima ini sering datang," ujar Gussang Sinurat, Kami menanam tapi monyet berpesta, tambahnya.

Cabe, kacang tanah dan jagung, kelihatannya saja subur sekarang. Esok lusa bisa berubah hampa digasak monyet, kata dia. Hanya hitungan hari sudah lenyap. Begitu pun ketimbang lahan terlantar, budidaya tetap dilakoni. Minimal dipungut 20 sampai 30 persen. Ditambahkan, beban ekonomi penduduk di sana amat memilukan. Ongkos setiap bahan dikenakan biaya Rp 1000 per kilogram. Bila di pasaran semisal di Desa Pardomuan harga gula putih Rp 12 ribu per kilogram, maka mereka membeli Rp 13 ribu. Pupuk urea bersubsidi misalnya, didapat Rp 150 ribu per zak.

Demikian sebaliknya, kalau menjual hasil tani, juga ditambah Rp 1000. Bila ada petikan cabe sebanyak 100 kilogram semisal satu karung, tentu ada cost Rp 100 ribu. Jika pasaran anjlok sesekali terpaksa mengambil keputusan pahit hingga membiarkannya busuk di lahan. Semua produk itu diangkut memakai tenaga kuda. Bila kuantitasnya sedikit, sepeda motor jadi pilihan.

Ngolu Sinaga memaparkan, atensi pemerintah minim. Bidan desa tak ada. Fasilitas penerangan yakni listrik juga nihil. Bila seseorang menderita sakit keras atau hendak bersalin, pasien ditandu ke kampung tetangga. Begitu pun, masa depan anak harus diperjuangkan. Karenanya, anak-anak seusia kelas 1 SD pun terpaksa dibikin kost ke Desa Lae Luhung. Saat ini, ada sekitar 10 pelajar kelas 1 menumpang sementara di luar. Sedang para murid SMP tinggal di Desa Pardomuan. Biaya hidup mereka dikenakan 1,5 kaleng beras atau setara 22 kilogram. Si buah hati itu biasanya pulang Sabtu sore. Bila orang tua tidak punya kendaraan, anak-anak tersebut jalan bareng lalu berangkat lagi Minggu sore mengayuh kaki.

"Bagaimana lagi mau dibikin? Ketimbang ngak sekolah… Berppisah pun terpaksa kami relakan. Jangan lagi anak-anak sesakit kami", kata Ngolu. Dikatakan, ketika anak-anak pulang juga membawa minyak tanah untuk keperluan memasak di kampung. Saking jauhnya perjalanan, dapat dimengerti bila buah pepohonan dan sejenisnya dikonsumsi demi mengganjal perut dan dahaga.

Bissara Boang Manalu dan beberapa warga lainnya berharap pemerintah daerah mengerti apa keperluan mereka. Sesungguhnya, aspirasi hendak disampaikan kepada Bupati. Hanya saja, kesibukan menangani penduduk membuat ruang komunikasi belum ketemu .

Kelemahan Bersama

Ya… demikianlah nasibb orang pinggiran. Andai bupati terlahir di situ tentunya camat pasti super sibuk mencuri hati penduduk. Dan, inilah realita. Bahwa Bupati ternyata lebih dahulu menginjakkan kaki ketimbang camat yang diangkatnya pada situasi emergency. Beginikah pro rakyat? Jika camat saja kurang menguasai peta wilayah kewenangan-- bagaimana berharap banyak terhadap penyuluh pertanian, tenaga medis hingga para pimpinan instansi teknis untuk mengangkat martabat rakyat?

Jika sudi berlapang dada, keterpurukan ini adalah kelemahan bersama. Setiap institusi tentunya punya tanggung jawab terhadap warga hingga ke pelosok dusun sekalipun. Sebab, pembukaan jalan pada intinya tetap mesti berhitung tentang apa potensi di sana. Hal serupa terkait dengan program KB (keluarga berencana) dan pendidikan. Bila kita melempar tugas, itu identik memposisikan kaum miskin itu di luar statistik kependudukan daerah otonom ini.

Bukan saja kegagalan eksekutif tetapi juga semua elemen termasuk legislatif. Bukankah mereka juga memberi hak pilih pada pemilu lalu? Bukankah anggota dewan saat ini duduk atas suara mereka? Pertanyaannya, dimanalah para wakil rakyat itu? Lalu, dimana peran ulama/rohaniawan yang punya jaringan luas? Ataukah para panutan itu juga abai?

Begitupun, tidak pantas membiarkan ratap tangis berkepanjagan. Apalagi permukiman lainnya juga diterpa derita serupa. Selintas solusi, penempatan dokter/paramedis pria menjadi kepala puskesmas dilengkapi kendaraan roda dua plus insentif menggairahkan di desa terpencil layak dijadikan alternatif. Terhadap prestasi, dianya patut memperoleh promosi penugasan ke kota dan penjenjangan pendidikan. Dengan begitu, tidak ada alasan baginya kesulitan menemui warga. Demikian terhadap camat, penting diberi punishment and reward agar tidak terlena pada kesejukan jabatan.

Seputar budidaya tanaman sebagai pondasi ekonomi, sebaiknya ditata ulang. Jengkol adalah komoditas yang banyak diusahai.

Namun, buah itu tidak punya ketergantungan tinggi terhadap industri dan bisnis restoran. Amat bijaksana bila daerah itu difokuskan bagi pengembangan kelapa. Bila saja setiap keluarga punya 100 batang kelapa hibrida maka pedagang pengumpul akan mengincar. Petani tak repot lagi berhitung ongkos.

Selanjutnya, kakao turut dikembangkan bersama. Namun yang tak kalah penting, tentunya diikuti pembenahan infrastruktur dan kontrol harga produk bersubsidi. Mengalokasikan dana PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) dirasa cukup menalangi pendanaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar